Peristiwa Merah Putih Di Minahasa
Februari 1946: Peristiwa merah putih di bumi Minahasa
Elshinta.com - Tanggal 14 Februari menjadi hari hangat bagi pasangan di seluruh dunia yang merayakan hari kasih sayang, hari valentine. Namun, pada tahun 1946 di tanggal tersebut, rasa sayang terhadap pasangan masih kalah dengan rasa kecintaan terhadap pada Tanah Air. Pada saat itu di Manado, Sulawesi Utara, dalam sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa Merah Putih, para pemuda pro-Republik menyerang pasukan Belanda (NICA) yang berusaha menyumbat gaung kemerdekaan di tanah Minahasa. Keberanian warga Minahasa terhadap Belanda dipicu oleh Gubernur Sulawesi, Sam Ratulangi, lewat surat rahasianya. Sam Ratulangi meminta tentara KNIL asal Minahasa yang pro RI segera melakukan aksi militer di tangsi KNIL (Sekarang Markas Pomdam XIII/Merdeka) di Teling, Manado. Surat rahasia itu lalu diserahkan pada politisi setempat Bernard Wilhelm Lapian dan Ch. Ch. Taulu yang merupakan tokoh militer. Sejumlah tentara KNIL yang tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) dan tokoh masyarakat maupun politisi Minahasa yang pro RI langsung merancang perebutan tangsi tentara Belanda tersebut. Peristiwa itu direalisasikan para pejuang pada tanggal 14 Februari 1946 pukul 1 malam. Perjuangan mereka berhasil. Di Tangsi Putih dan Tangsi Hitam, Teling, Manado, para pemuda sukses menawan Residen Coomans de Ruyter dan Komandan NICA Letkol de Vries beserta mereka yang pro-NICA. Selain menawan pihak musuh, mereka juga membebaskan tahanan yang dicurigai pro-RI, antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A. Maengkom, Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan. Para pejuang juga berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya dan menaikkan kembali warna merah putih ke puncak tiang bendera. Berita mengenai perebutan kekuasaan itu pun dikirim ke pemerintah pusat RI di Yogyakarta disertai maklumat yang ditandatangani oleh Ch. Ch. Taulu. Dua hari setelah pe, pemerintahan "Merah Putih" di Minahasa terbentuk di mana B.W. Lapian ditunjuk sebagai residennya. Sementara itu, Ch. Ch. Taulu, SD. Wuisan, dan J. Kaseger menjadi pemipin satuan lokal Tentara Indonesia. Agar ingatan Peristiwa Merah Putih terus terjaga dibuatlah monumen peringatan di daerah Kawangkoan yang diresmikan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sejak 1987.
Sumber : Elshinta.Com
Jakarta: Perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan tak cuma terjadi di Pulau Jawa atau Sumatera lho. Ada salah satu peristiwa penting rakyat melawan Belanda di Minahasa, Manado, Sulawesi Utara yang dikenal dengan Peristiwa Merah Putih.
berikut ini dikutip dari laman
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, berita mengenai kemerdekaan Indonesia cepat menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, termasuk tanah Minahasa. Namun, keinginan untuk mengembalikan Indonesia kepada kekuasaan kolonial Belanda melalui administrasi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) masih terus dilakukan oleh pihak Belanda.
Ini menyebabkan ketegangan antara pasukan Belanda dan pemuda-pemuda pro-republik, termasuk di wilayah Minahasa. Ketika Belanda mulai mengembalikan kekuasaannya dengan bantuan NICA, banyak pemuda Minahasa, yang sudah terinspirasi oleh semangat kemerdekaan, memutuskan untuk melawan.
Mereka tidak hanya terdiri dari kalangan sipil tetapi juga anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) yang pro-republik. Organisasi pemuda seperti PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) dan BPNI (Badan Perjuangan Nasional Indonesia) mulai melakukan perlawanan, yang puncaknya terjadi dalam Peristiwa Merah Putih di Manado.
Penyiaran kabar kemenangan
Setelah pengambilalihan ini, dengan bantuan Tang Ing Hwa di Tomohon dan disaksikan oleh Kopral A. S. Rombot dan Kopral D. Kawilarang, mereka menyebarkan berita kemenangan melalui siaran radio. Dalam siaran tersebut, mereka mengumumkan bahwa pemerintahan NICA telah berhasil diambil alih oleh pejuang pro-republik dan seluruh daerah Minahasa kini berada di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.
Berita ini juga menegaskan semua orang Belanda telah ditahan dalam kondisi baik, sementara tawanan Jepang tetap berada di kamp-kamp mereka. Masyarakat Minahasa menunjukkan mereka menolak klaim Belanda yang menyatakan kemerdekaan hanya berlaku untuk Jawa dan Sumatera.
Peristiwa Merah Putih di Manado menjadi bukti nyata bahwa semangat kemerdekaan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia, tidak terbatas pada pulau-pulau besar saja. Pemuda Minahasa, dengan keberanian dan tekad yang besar, menunjukkan mereka juga memiliki peran penting dalam perjuangan untuk kemerdekaan.
Perlawanan mereka menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk selalu berjuang demi keadilan dan kedaulatan bangsa.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya tersampaikan juga di Papua. Rakyat Papua di berbagai kota seperti Jayapura, Sorong, dan Biak memberikan sambutan hangat dan mendukung proklamasi tersebut. Peristiwa Merah Putih di Biak diawali dengan penyerangan terhadap pos militer Belanda di Sorong dan Biak oleh para pejuang kemerdekaan Papua pada 14 Maret 1948.Read less
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[2]
Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4]
Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan. Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7]
Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.
Peristiwa merah putih di Manado tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara.
Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu.
Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba muncul pesawat pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik Angkatan Udara Sekutu.
Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya dengan tanah, mengubah setiap gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan menewaskan banyak penduduk.
Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu yang berperan ganda sebagai tokoh nasionalis. Di bulan September 1944 ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal yang menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado.
Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru.
Pada bulan September di bulan yang sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan pasukan Sekutu dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha yang mereka lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apa pun terhadap kehidupan bermasyarakat, berpolitik, mau pun ekonomi.
Pada bulan terakhir tahun 1945, Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari tanah itu. Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya menyerahkan tugas yang tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang dipimpin oleh seorang Inggris.
John Rahasia dan Wim Pangalila kemudian melihat hal ini sebagai kesempatan untuk melakukan sebuah revolusi atau pemberontakan yang akan dilakukan oleh pemuda-pemuda Manado.
Di Bulan yang sama, NEFIS-Belanda mulai sedikit lebih pintar, dan mereka sudah bisa mulai mencurigai kedua orang yang akan melakukan pemberontakan ini.
Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka.
Yaitu Furir Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.
Pada tanggal 14 Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi. Pada saat peristiwa itu dimulai, mereka berhasil memengaruhi pihak Belanda, dan membuat Kopral Mambi Runtukahu yang ditunjuk sebagai pemimpin ahli penyergapan pos yang ada di markas garnisun Manado.
Setelah serangan yang tidak memiliki perlawanan ini selesai, ada beberapa nama kaum nasionalis yang kemudian ditangkap oleh NICA dan dituduh sebagai mata-mata Jepang.
Keberhasilan kudeta yang dilakukan oleh Wuisan dan kawan-kawan tiba di telinga kapten KNIL pada masa itu, yang bernama J Kaseger yang akhirnya ikut berjuang membela Indonesia.
Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan 16 Ferbuari, hanya satu hingga dua hari setelah peristiwa ini dimulai.
Pada tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries tertangkap dan menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan demi membuat kesepakatan akan perselisihan yang terjadi ini.
De Vries, seperti layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh pihak Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya.
Pada saat itu, sebenernya Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan mempertahankan perjuangan itu.
Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera Merah-Putih.
Peristiwa Sejarah Merah Putih Di Biak
Peristiwa merah putih di Manado adalah peristiwa penyerbuan markas militer Belanda di Teling, Manado, Sulawesi Utara. Berikut sejarah peristiwa merah putih di Manado.
Peristiwa merah putih di Manado terjadi pasca kemerdekaan Indonesia yakni pada 14 Februari 1946.
Latar belakang peristiwa merah putih ini terjadi karena provokasi Belanda yang menyebut kemerdekaan Indonesia hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa merah putih di Manado terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Tentara dan rakyat Manado menyerbu maskas Belanda. (Ilustrasi Foto: Istockphoto/Rawpixel)
Kronologi peristiwa merah putih di Manado berawal dari kabar kemerdekaan Indonesia. Saat itu, masyarakat di Manado baru mengetahui kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Setelah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, masyarakat Manado bergegas mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat termasuk kantor-kantor bekas penjajah Jepang.
Meski sudah merdeka, Belanda masih ingin menguasai Manado. Pada Oktober 1945, pasukan Belanda atau Netherland Indies Civil Administration (NICA) datang ke Manado.
Saat itu, masyarakat Manado dengan tegas menolak Belanda. Perlawanan rakyat Manado pun dimulai. Suasana di Manado dan sejumlah daerah seperti Tomohon dan Minahasa pun memanas.
Dalam sejarah peristiwa merah putih di Manado, masyarakat Manado berhasil menyerbu markas Belanda danmengibarkan bendera Indonesia. (Foto: mufidpwt/Pixabay)
Puncaknya terjadi pada 14 Februari 1946. Residen Manado Bernard Wilhelm Lapian, Letnan Kolonel Charles Choes Taulu dan Sersan SD Wuisan menggerakkan pasukannya untuk mengambil alih markas militer yang dikuasai Belanda. Rakyat dari kalangan pribumi pun ikut dalam penyerbuan itu.
Mereka pun mengibarkan bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Rakyat juga tak segan-segan merobek bendera triwarna Belanda menjadi bendera merah putih.
Perebutan tangsi militer Teling dan penurunan bendera triwarna yang diganti bendera merah putih berhasil memukul mundur Belanda dan pasukannya.
Peristiwa berdarah serta bersejarah ini semakin menguatkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa merah putih di Manado ini diberitakan lewat radio. Informasi penyerbuan itu sampai ke radio Australia, London hingga San-Francisco, AS.
Untuk mengenang seluruh jasa para pahlawan dalam insiden merah putih di Manado, didirikan sebuah monumen BW Lapian dan Ch Ch Taulu di Jalan Raya Kawangkoan-Tampaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Monumen ini diresmikan pada 30 November 1987.
Itulah sejarah peristiwa merah putih di Manado yang berhasil menyerang markas militer Belanda.
KUKAR. Upacara peringatan peristiwa heroic mempertahankan Kemerdekaan RI dari tangan penjajah kembali digelar pada Sabtu (27/1/2024) di Lapangan Sepak Bola PT Pertamina Asset 5 Field Sanga-sanga, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. Upacara tersebut sekaligus sebagai pengingat tentang perjuangan para pendahulu dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah pada 77 tahun silam, demikian disampaikan Wakil Ketua DPRD Kaltim Muhammad Samsun saat menghadiri peringatan peristiwa merah putih sangasanga. Dikatakan Samsun, Peringatan Peristiwa Merah Putih Sangasanga bukan hanya merupakan momentum seremonial belaka, melainkan sebagai motivasi untuk terus memperjuangkan menjaga kedaluatan NKRI. “Peristiwa Merah Putih Sanga-sanga yang dilakukan oleh warga Sangasanga dan Pemerintah Kalimantan Timur serta Kabupaten Kartanegara setiap tanggal 27 Januari, ini adalah peringatan hari kepahlawanan di Kaltim yang penuh dengan sejarah dan makna. Ini harus terus kita peringati bangkitkan rasa nasionalisme dan kecintaan kita terhadap bangsa Indonesia,” terang samsun. Untuk itu, ia berpesan kepada generasi saa tini agar merefleksikan semangat dan jiwa juang para pahlawan bangsa, dengan harapan generasi muda tetap mempertahankan budaya-budaya bangsa. “Dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, wajib bagi kita untuk memproteksi diri dari pengaruh-pengaruh asing,” tegas politikus PDIP ini. Untuk diketahui, Peristiwa Merah Putih meletus pada tanggal 27 Januari 1947, di mana pada saat itu para pejuang Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) Pimpinan R. Soekasmo bersama rakyat dan karyawan minyak BPM bahu membahu berjuang merebut wilayah sangasanga dari tangan Belanda. Dalam pertemuan sengit yang dimulai pada pagi hari sekitar pukul 04.30 WITA, pejuang BPRI berhasil merebut tangsi-tangsi militer milik tentara KNIL, serta menawan serdadu Belanda dan melucuti persenjataan milik mereka. Sementara sisa-sisa pasukan Belanda lainnya terpaksa mundur meninggalkan Sanga-sanga menuju Balikpapan. Keberhasilan para pejuang merebut wilayah Sangasanga tersebut kemudian diumumkan secara luas oleh Komandan Markas Merah Putih, Romokarto Fathamsyah, pada tanggal 28 Januari 1947 yang menyatakan bahwa pejuang RI telah berhasil mengalahkan tentara Belanda. Selain itu dinyatakan bahwa wilayah Sangasanga, Anggana dan Muara Jawa telah 100 Persen dikuasai pejuang, Sehingga wilayah Sangasanga dan sekitarnya menjadi wilayah Republik Indonesia yang saat itu berkedudukan di Jogjakarta. Peristiwa pertempuran Sanga-sanga memakan cukup banyak korban jiwa dari kedua belah pihak, ratusan pejuang yang gugur pada waktu itu dikebumikan di salah satu bukit di Sanga-sanga yang kemudian diresmikan sebagai Taman Makam Pahlawan “Wadah Batuah” pada tanggatl 17 Agustus 1949. (hms10)
Serangan besar di Markas Teling
Pada 14 Februari 1946, pemuda dan anggota KNIL yang pro-republik memutuskan melancarkan serangan besar terhadap markas NICA di Teling, Manado. Serangan ini berhasil dengan gemilang.
Mereka merebut gudang persenjataan di Asrama Teling I, merampas senjata, dan membebaskan tokoh-tokoh nasionalis yang ditahan oleh pihak NICA, termasuk Sersan Charles Choesoy Taulu dan Sersan Servius Dumais Wuisan.
Serangan ini menandai awal dari pengambilalihan kekuasaan di Manado oleh pemuda Minahasa. Setelah merebut senjata, mereka menawan pejabat militer dan sipil Belanda, termasuk Komandan Garnisun NICA Manado, Kapten Bloom, dan pemimpin militer Letnan Verwajen. Para tawanan, berjumlah sekitar 600 orang, dibagi menjadi dua kelompok dan ditahan di Asrama Teling I serta Penjara Manado.
Pengibaran Bendera Merah Putih
Salah satu momen yang sangat simbolis dari peristiwa ini adalah ketika seorang pemuda bernama F. Wangko Sumanti merobek bagian biru dari bendera Belanda, sehingga hanya menyisakan warna merah dan putih. Bendera yang kini menjadi Merah Putih tersebut kemudian diserahkan kepada Kopral J. Mambi Runtukahu dan dikibarkan oleh Kotambunan dan Sitam di atas gedung markas militer Belanda/NICA di Teling.
Tindakan ini bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga deklarasi bahwa Manado dan Minahasa berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia. Semangat kemerdekaan yang membara di antara para pemuda ini menyebar ke kota-kota lain di Minahasa, seperti Tomohon, Tondano, Remboken, dan Langowan.
Di Tomohon, perlawanan dipimpin oleh Sersan Frans Bisman dan Freddy Lumanauw yang berhasil menangkap pemimpin NICA di sana, Letnan Kolonel Coomans de Ruyter, dan Komandan KNIL, Letnan Kolonel de Vries.